Rabu, 13 Agustus 2025
BerandaOpiniSembilan Hari di Vietnam (3)

Sembilan Hari di Vietnam (3)

-

Destiasi Wisata di Ho Chi Minh

Tiga hari di Ho Chi Minh, ada beberapa agenda yang akan saya kunjungi selain kuliner tentu saja destinasi wisata. Ada beberapa destinasi wisata pokok yang akan saya kunjungi yaitu pertama pasar tradisional Cho Ben Thanh, Independence Palace, Landmark 81, sembahyang di salah satu masjid di Ho Chi Minh. Sedang hari terakhir saya gunakan ke terowongan Cu Chi serta kereta gantung Sun World Ba Den Mountain Cable.

Pagi-pagi setelah makan pagi saya dengan istri sengaja jalan-jalan berdua ke pasar tradisional Cho Ben Thanh yang jaraknya sangat dekat dengan hotel. Dilihat dari depan hotel saya menginap, pintu gerbangnya yang sangat khas sudah terlihat dari kejauhan. Memang letaknya pasar di pertigaan (tusuk sate kalau orang Jawa menyebut), tentu gampang diakses dari mana-mana. Sedang anak serta cucu saya masih istirahat. Waktu pagi atau sore biasanya saya gunakan untuk jalan-jalan sesuai agenda saya.

Ketika jam 07.30 saya jalan ke pasar, ternyata resto yang menyediakan makan pagi juga sudah banyak yang buka dan banyak yang beli. Dan yang membeli kebanyakan menyantap makanan sambil duduk-duduk di kursi dan meja kecil di pedestrian. Pagi itu pasar sudah mulai buka jam 08.00. Namun penjual makan belum. Melihat pasar di Vietnam saya jadi ingat pasar tradisional di Uzbekistan. Pasar tradisionalnya bersih, dan terawat. Namun bedanya di Uzbekistan setiap item barang yang dijual ada label harganya. Seperti beras atau biji-bijian misalnya, harganya ditancapkan di atasnya diselembar kertas. Namun di Vietnam sayangnya harganya tidak dicantumkan secara tegas atau tidak ada label harganya.

Kecuali makanan di semacam warung makanan di pasar, seperti es buah, es krim, ada daftar menu serta harganya. Namun seperti sayur, daging, ikan, pernik-pernik souvenir tidak ada harganya. Dengan tidak ada harganya, tentu saja kita yang belanja dapatnya hanya mengira-ira saja. Apakah yang kita beli ini mahal apa tidak. Ambil contoh, pernik-pernik tempelan di kulkas. Satu pernik harganya ada yang VND 20.000, namun di tempat lain ada yang harganya VND 45.000. Ya seperti itulah kondisinya. Hampir sama dengan tempat kita.

Karena bersih itulah, berapa saat setelah saya putar-putar di pasar kemudian penjual makanan mulai buka. Dan saya sengaja mencoba makanan di pasar. Harganya serta rasanya sebenarnya juga tidak jauh berbeda yang ada di restoran. Tentu saja lebih mahal di restoran, namun rasanya juga hampir sama. Bagi wisatawan kalau kita pergi ke suatu tempat, dan ingin berhemat harus tahu betul makanan apa yang murah dan tempatnya di mana. Dan pasar tradisional biasanya menjadi tempatnya. Namun yang baik mestinya juga harus sudah ada tarif, sehingga kita bisa tahu.

Habis mencicipi makanan di pasar Cho Ben Thanh yang rasanya juga tidak kalah dengan restoran, saya kemudian menuju masjid untuk sholat sekaligus mengunjungi masjid di negara yang menganut idiologi komunis itu. Seperti yang selalu saya dengar sejak kecil, negara komunis itu tidak memberikan kebebasan beragama bagi rakyatnya. Apakah informasi seperti itu masih berlaku sampai dengan saat ini.

Saya sengaja mencari informasi masjid yang besar di Ho Chi Minh. Ketemu masjid Al-Muslimin yang dibangun tahun 1935 oleh komunitas India di Saigon ketika itu. Masjidnya memang cukup besar untuk ukuran kota Ho Chi Minh dengan komunitas umat muslim di Vietnam yang tidak lebih dari satu persen dari seluruh penduduk. Tentu saja jangan dibandingkan dengan masjid-masjid di Indonesia.

Letaknya yang strategis. Hanya sekitar 200 meter dari lingkungan gedung pencakar langit Landmark 81 sekaligus landmark kota Ho Chi Minh. Sebenarnya dengan masjid Al-Rahim, Malaysia-Indonesia yang dibangun 1885 oleh komunitas Bawean jaraknya juga tidak terlalu jauh. Tentu saja dengan atmosfer ukuran dan kondisi sekarang, karena kalau kita jalan sepanjang jalan penuh dengan pertokoan dan gedung-gedung tinggi. Tentu saja kalau jalan akan tidak terasa jauh, karena sambil jalan bisa menikmati pemandangan kanan-kiri jalan.

Sebelum sholat, saya sengaja melihat lingkungan di sekitar masjid. Di samping masjid ada semacam TPA. Juga nampaknya menjadi tempat tinggal pengurus masjid. Tempat wudhu tidak dialirkan melalui kran seperti umumnya di Indonesia, namun berupa kolah agak besar kemudian dibibir kolah disediakan gayung. Atmosfer masjid hampir sama dengan kondisi beberapa masjid di Indonesia seperti terlihat beberapa orang terlihat tidur di serambi masjid.

Yang agak mengherankan saya, kotak amal yang biasanya kalau di masjid di Indonesia terbuat dari kayu, malahan banyak juga yang terbuat dari kaca berbeda di masjid Vietnam ini. Ada dua konak amal bentuknya semacam brankas dari besi tebal yang diletakkan di teras kanan-kiri masjid. Saya tidak terlalu mengerti mengapa kotak amalnya terbuat dari besi semacam brankas, karena tidak ada yang bisa saya tanya saat itu. Nampaknya model masjid di Vietnam seperti kecenderungan masjid di Indonesia. Pengaruh Timur Tengah sangat besar.

Selesai sembahyang, saya meneruskan jalan ke Landmark 81 Ho Chi Minh. Di depan lingkungan ini dipenuhi gedung-gedung pencakar langit sekaligus taman. Ke arah seberang jalan Landmark 81 sudah tepian sungai Saigon yang cukup lebar sekaligus dermaga untuk kapal wisata. Nampak sungainya bersih tidak ada sampah. Saya sengaja tidak ikut naik kapal menyusuri sungai Saigon karena memang tidak masuk agenda saya, mengingat kalau menyusuri sungai tentu memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu saya hanya duduk sejenak sambil menikmati suasana di sekitar Landmark 81.

Landmark 81 adalah sebuah gedung pencakar langit dengan tinggi 461,15 meter yang terdiri dari 81 lantai. Mulai dengan peletakan batu pertama sampai selesai dibangun mmerlukan waktu selama empat tahun. Saya sengaja juga tidak naik di gedung tersebut, walaupun dibuka sebenarnya untuk melihat kota Ho Chi Minh. Sekali lagi waktu yang memaksa saya harus efisien mengelola waktu selama pergi ke Vietnam, walaupun saya tidak ikut rombongan travel. Tapi bener-bener liburan yang disusun sendiri oleh anak dan menantu saya guna benar-benar untuk menikmati sebuah perjalanan dengan suasana negara lain.

Cukup puas menikmati Landamark 81, segera kembalinya ke hotel. Ketika kembali ke hotel saya juga berjalan kaki bersama istri, karena siang itu ada agenda untuk berkunjung ke Independence Palace yang letaknya dekat hotel. Karena letaknya hanya seberang jalan saja dari tempat saya menginap, maka saya sengaja mepetkan waktunya. Jadi pagi sampai siang memang saya gunakan bersama istri berdua untuk mengunjungi tempat di luar agenda saya dengan anak-anak.

Sesampainya di hotel, anak dan menantu serta cucu saya yang berusia empat tahun sudah menunggu di lobby hotel. Langsung saja saya berangkat ke Independence Palace. Ternyata pengunjung sudah penuh sesak di teras gedung, sehingga banyak juga yang menikmati gedung dari halaman istana. Sedang di halaman istana selain taman dan pepohonan yang rindang juga dipajang bekas mesin perang seperti tank, pesawat dan sebagainya.

Istana ini dulunya adalah tempat bekerja Presiden Vietnam Selatan ketika Vietnam belum menyatu. Sebagai simbol kekuasaan Vietnam Selatan maka ketika terjadi perang Vietnam yang demikian pajang, jatuhnya istana ini menandakan berakhirnya pemerintahan Vietnam Selatan ke tangan Vietnam Utara (reunifikasi). Udara panas kota Ho Chi Minh saya kira betul-betul menyiksa pengunjung, ditambah lagi karena tidak tersedia pendingin ruangan di istina. Pokoknya panasnya minta ampun.

Gedung Independence Palace terdiri empat lantai. Berdiri di sebuah tempat yang strategis di tengah taman dan pepohonan besar yang rindang. Seperti layaknya Istana Bogor lingkungannya. Namun menurut hemat saya masih indah dan luas istana Bogor. Demikian juga cuaca Bogor yang relatif tidak terlalu panas tentu lebih nyaman. Apalagi ditambah pendingin ruangan.

Namun panasnya yang minta ampun, tidak mengurangi minat pengunjung untuk melihat destinasi di dalam istiana ini. Dan isinya sebenarnya hanya ruangan berserta perabot pertemuan (karena masih berfungsi sebagai tempat pertemuan resmi) disertai keterangan dalam bahasa Vietnam dan Inggris tentunya. Yang mengherankan kok ya pengunjungnya penuh sesak. Tentu saja 90 persen pengunjung adalah warga Vietnam sendiri.

Saya kira bukan perkara baik atau tidaknya Independence Palace. Namun menurut hemat saya nilai sejarah bagi bangsa Vietnam yang dulunya harus terpisah kemudian dengan perjuangan panjang disertai saling bunuh antar anak bangsa akhirnya bersatu kembali yang ditandai dengan jatuhnya istana ini. Tentu saja nilai-nilai perjuangan itulah yang oleh penguasa sekarang selalu ditanamkan kepada warganya.

Berbanding terbalik nampaknya dengan nasib perpustakaan, misalnya. Ketika saya meliwati perpustakaan Ho Chi Minh, kondisinya jauh berbeda. Hampir sama dengan Indonesia. Pengunjungnya terlihat tidak terlalu banyak. Namun menurut pengamatan saya walaupun hanya sepintas, masih ramai perpustakaan setingkat provinsi di Indonesia. Sambil duduk di taman istana di bawah pohon besar dan rindang saya ingat ketika Vietnam jatuh ke tangan komunis, saya waktu itu kelas tiga SMA. Jatuhnya Vietnam waktu itu menimbulkan kekhawatiran tentu saja akan berakibat meluasnya idiologi komunis di Asia khususnya Asia Tenggara. Apalagi Indonesia pernah merasakan pahirnya pertumpahan darah karena idiologi komunis.

Hari ketiga di Ho Chi Minh saya agendakan untuk mengunjungi terowongan Cu Chi serta kereta gantung Sun World Ba Den Mountain Cable. Dan memang rasanya belum ke Vietnam kalau belum berkunjung ke terowongan Cu Chi. Ya karena perjuangan bersatunya bangsa Vietnam melawan penguasa yang kuat dan di dukung USA tersebut, Vietnam Utara (Viet Cong) ketika itu membuat terowongan-terowongan tikus yang rumit namun sangat efektif untuk mengalahkan tentara Vietnam Selatan yang didukung USA.

Perjalanan dari Ho Chi Minh ke terowongan Cu Chi, sekitar dua jam perjalanan dengan mobil. Dan sengaja seharian hari terakhir di Vietnam itu kita menyewa mobil untuk mengunjungi dua destinasi wisata ini. Kita janjian jam 07.15 dijemput di hotel. Diperkirakan nanti jam 19.00 baru sampai di hotel kembali. Tentu saja agak menguras tenaga, seharian penuh di lapangan. Yang agak jadi soal adalah saya pergi dengan cucu yang berusia empat tahun. Namun untungnya cucu saya model didikan Belanda. Sejak kecil sudah dididik mandiri dan disiplin. Dan pula sudah biasa diajak perjalanan Panjang. Jadi jarang sekali “tantrum.” Malah terlihat sangat happy. Jarang sekali minta gendong.

Pagi jam 06.30 saya sudah makan pagi di hotel. Jenis nasi yang tersedia di hotel Vietnam biasanya hanya bubur dan nasi goreng. Kalau pagi saya selama di Vietnam lebih suka makan roti sama telur omelet. Dan tak lupa minum fresh milk. Kalau makan nasi goreng rasanya diperut kurang nyaman karena keras. Maklum perut lansia yang maunya makanan yang sudah empuk-empuk.

Jam 07.00 mobil yang jemput sudah datang. Tahunya sopir yang akan mengantarkan sudah menghubungi anak saya. Sesuai janji jam 07.15 mobil mulai meninggalkan hotel dan berangkat menuju terowongan Cu Chi yang jaraknya sekitar 70 Km ke erah barat laut dari kota Ho Chi Minh. Kalau di daerah baru dimanapun yang saya kunjungi biasanya saya pasti nggak bisa tidur. Inginnya menikmati perjalanan dan suasana yang baru. Yang saya rasakan, ke luar kota di Vietnam bak di Indonesia saja. Kampung-kampung yang berada di pinggir jalan persis suasana di Indonesia.

Jalan-jalan mulai dibangun di sana-sini. Suasana rumahnya pun juga tidak jauh berbeda, hanya modelnya saja yang berbeda. Pinggir jalan juga banyak sekali orang berjualan. Demikian juga resto banyak dibuka. Melihat suasana demikian tentu saja kita tidak perlu khawatir akan kesulitan di jalan, baik soal makanan maupun kesulitan lainnya.

Karena letak Cu Chi memang di daerah dulunya hutan, makanya tak mengherankan kalau letaknya jauh di luar kota. Dua jam kurang seperempat saya sudah sampai di halaman lokasi. Baru beberepa mobil yang parkir. Tentu saja saya termasuk rombongan yang awal. Setelah membeli tiket, saya dipandu oleh seorang pemandu wisata yang telah disediakan. Memang aturannya dalam kunjungan ke Cu Chi harus ada pemandu wisata.

Baru masuk ke lokasi kita harus melalui pintu masuk ke arah terowongan yang sengaja dibuat besar dan lebar serta terang karena lampu. Dan terowongan ini kemudian muncul di hutan. Menurut cerita dan memang sesuai faktanya terowongan ini panjangnya saja tidak hanya puluhan kilo meter tetapi ratusan kilo meter. Dan rintisan pembuatan terowongan ini dibangun sejak tahun 1948.

Untuk panjang terowongan Cu Chi beserta cabang-cabangnya saja panjang totalnya saja sekitar 250 km. Untuk mengatur sirkulasi udara dan air, tinggi terowongan didesain sedemikian rupa. Lantai tertinggi terowongan sekitar 3 meter di bawah tanah. Lantai tengah berada di sekitar 6 meter di bawah tanah. Sedangkan lantai yang paling dalam sekitar 12 meter di bawah tanah.

Di dalam terowongan terdapat pusat komando, dapur, bengkel, dan pendukung perang lainnya. Ritme kehidupan di terowongan diatur ketat. Agar tidak gampang terdeteksi musuh. Seperti dapur misalnya, masaknya hanya jam tertentu saja. Sedang asapnya di alirkan ke sebuah tempat yang keluarnya sudah bukan asap lagi. Sistemnya demikian sederhana namun canggih. Demikian juga ventilasi udaranya juga disamarkan sedemikian rupa. Biasanya dibuat gudukan-gundukan yang tidak kelihatan kalau itu sebenarnya ventilasi udara.

Untuk melindungi terowongan, di atas terowongan banyak sekali jebakan yang dibuat. Ada jebakan yang berupa bambu runcing yang ditancapkan di bawah lubang mengarah ke atas, namun atasnya ditutupi dedaunan yang tidak kelihatan. Jebakan ranjau dsb. Saya membayangkan kalau ada tentara musuh yang terjebak di lubang tersebut ya pasti minimal terluka parah. Dan model jebakannya bermacam-macam.

Untuk keluar masuk pasukan, ada lubang masuk yang hanya cukup untuk badan. Lubangnya memang sengaja dibuat kecil, untuk ukuran orang Vietnam (namun saat ini untuk kepentingan turis sengaja dibuat agak lebar). Demikian juga lorong yang ada di dalam (saat ini sudah dilebarkan dan ditinggikan untuk kepentingan turis) dibeberpa tempat sengaja dilebarkan. Ketika tiba di tempat ini senang sekali rasanya, karena selama ini hanya bisa melihat dari gambar saja.

Tentu saja rasanya saya segera ingin mencobanya. Kebetulan rombongan keluarga saya digabung dengan rombongan anak muda turis asal dari salah satu negara barat yang jumlahnya juga lima orang. Salah satu anak muda mencoba duluan masuk ke lubang kemudian menutup pintu lubang. Tentu saja sebelumnya diberikan contoh oleh pemandu. Kelihatannya kok seru sekali. Tentu saja saya ingin mencoba. Sudah jauh datang masa tidak mencoba, tentu akan rugi. Selain pengalaman juga merasakan ikut membayangkan bagaimana nuansa persembunyian masa itu.

Giliran saya kemudian, sebagai orang kedua yang ikut mencoba. Karena badan saya kecil, ya dengan mudah masuk. Saya mencoba duduk sementara waktu di dalam kegelapan lubang. Sampai-sampai anak saya mungkin khawatir memanggil saya “Pak sudah-sudah segera keluar!!!!.” Segera saja saya membuka penutup lubang dengan kedua tangan saya lurus ke atas seperti yang sudah dicontohkan pemandu. Selanjutnya menantu saya yang berbadan cukup besar namun langsing mencoba. Juga bisa masuk. Setelah saya tanya, komentarnya tentu pengalaman sangat berkesan juga baginya.

Dan agar para tentara Viet Cong tahu dimana tempat lubang masuk, ada tanda-tanda tertentu. Biasanya ada pohon yang kemudian diberi tanda berupa goresan yang setiap tentara Viet Cong dapat membaca dan tahu bahwa di sekitar situ ada pintu masuk terowongan. Seperti lubang terowongan tempat saya masuk juga ada tanda goresan di pohon yang menunjukkan tempat masuk dan keluar terowongan.

Setelah dari tempat bagaimana masuk lubang, kemudian kita dibawa ke tempat bagaimana suasana di dalam terowongan Cu Chi itu. Tentu saja saya tidak ketinggalan, ikut mencoba. Tentu saja tinggi dan lebar terowongan juga sudah diubah disesuaikan dengan kondisi turis. Saya mencoba menelusuri terowongan yang begitu banyak cabangnya. Rasanya karena begitu banyak cabang ikut mempercepat dugub jantung saya di dalam terowongan. Malahan ada rasa khawatir, jangan-jangan saya tersesat dalam terowongan karena pemandu dan yang di depan saya sudah tidak terlihat. Dan di dalam terowongan tidak bisa berjalan berdiri tetapi harus merunduk. Baru berjalan sekitar lima menit saja keringat sudah membasahi sekujur badan. Maka saya segera keluar melalui salah satu cabang pintu. Lega rasanya setelah bisa keluar. Mungkin pemandu dan wisatawan yang lain keluar dari pintu berbeda. Karena kok saya keluar belakangan.

Apakah terowongan Hamas di Gaza juga terinspirasi Perang Vietnam? Mungkin saja!!! Hanya bedanya, terowongan di Vietnam tidak pakai beton, murni tanah yang digali. Kalau terowongan Hamas di Gaza pakai beton. Dan memang jenisnya tanahnya juga berbeda. Dan terbukti dengan berperang melalui terowongan menyulitkan tentara USA di Vietnam. Malahan USA harus mengakui keunggulan Viet Cong dan harus angkat kaki dari Vietnam. Dan untungnya teknologi digital belum berkembang seperti saat ini.

Banyak spot di destinasi terowongan Cu Chi. Yang pasti agar pengunjung ikut merasakan bagaimana suasana waktu itu. Termasuk makan tentara Viet Cong waktu itu juga disuguhkan. Di spot tertentu di tengah hutan pengunjung disuguhi ketela pohon untuk dicicipi. Itulah salah satu makanan tentara Viet Cong. Bagi saya makanan tersebut bukan barang baru. Tetapi bagi turis Eropa tentu pengalaman baru, terbukti mereka tidak mau menyentuh. Terpaksa saya harus menjelaskannya. Dan setelah saya mendahului makan, dan mereka bertanya kepada saya gimana rasanya kemudian mereka penasaran semua ikut mencoba.

Di spot terakhir pengunjung diberikan pengalaman menarik tentu saja bagi yang tertarik untuk menembak dengan senjata. Tentu saja harus membayar. Menantu saya mencoba ikut menembak dengan 10 peluru. Dari Cu Chi ini saya bisa mengambil pengalaman, begitu pandainya bangsa Vietnam menjual destinasi wisata sejarah perjuangan bangsa mereka menjadi jauh lebih menarik pengunjung.

Ketika keluar sampai di tempat parkir, kendaraan turis sudah memenuhi lapangan parkir. Saya beruntung datang lebih awal. Kalau tidak ya pasti sudah bersama pengunjung lainnya yang membludak. Kemudian perjalanan dilajutkan sekitar dua jam menuju ke kereta gantung Sun World Ba Den Mountain Cable. Sebuah gunung yang dulunya sudah berdiri sebuah pagoda. Tentu saja sekarang sudah diperbaharui dengan berbagai obyek dan fasilitas yang menarik. Utamanya bagi yang beragama Budha tempat ini tentu wajib dikunjungi.

Gunung dengan ketinggian 986 meter ini dalam buku panduan wisata Vietnam menyuguhkan pemandangan yang menarik dari ketinggian. Apalagi dilengkapi dengan kereta cable yang sangat modern. Bagi saya yang dari Indonesia dimana pemandangan gunung bukan merupakan hal aneh tentu sudah biasa. Yang paling senang tentu saja cucu saya yang sangat menikmati. Dan juga tak mengherankan kalau kemudian pengunjung destinasi ini kebanyakan adalah turis lokal saja kalau saya perhatikan. Puas menikmati suasana di atas gunung saya memutuskan segera turun. Karena naik turun dengan kereta gantung tentu capainya ketika melihat destinasi di atas serta jalan dari tempat parkir ke kereta gantung.

Sampai di parkiran mobil, kendaraan masih penuh sesak. Keluar dari lingkungan Sun World Ba Den Mountain Cable banyak penjual buah di pinggir jalan. Salah satunya saya kok tertarik penjual buah srikaya yang besar-besar. Harganya dipampang cukup besar agar kendaraan yang lewat tertarik. Seperti penjual di Indonesia modelnya, waktu musim buah seperti rambutan, mangga, durian dsb banyak dijual dipinggir jalan. Utamanya istri sangat tertarik untuk membeli karena tentu saja istri tahu saya memang penggemar buah srikaya. Melihat harganya yang hanya VND 10.000 sekilo kok tidak berbeda dengan Indonesia sesuai harga yang terpampang. Malahan lebih murah.

Setelah berhenti, dan mencoba membeli ternyata yang harganya terpampang hanya buat buah srikaya yang kecil-kecil dan nampak kurang layak dikonsumsi. Sayangnya buah yang kecil tadi sengaja ditempatkan dikeranjang tersendiri agak tersembunyi. Untung sopir ikut membantu dengan bhasa Vietnam, akhirnya ya terpaksa membeli yang besar-besar sekaligus buat pengalaman dengan harga VND 15.000 sekilo. Ya akhirnya kalau dirupiahkan jatuhnya harga ya masih murah di Vietnam dibandingkan di Indonesia.

Di tengah perjalanan  pulang, karena belum makan siang kemudian mampir sejenak di salah satu resto untuk makan siang walaupun agak terlambat. Kenyang setelah makan siang, biasa semua tertidur pulas. Sekitar jam 18.00 saya sudah sampai di hotel. Waktu masuk kota Ho Chi Minh kebetulan bersamaan dengan waktu pulang kerja. Bisa dibayangkan macetnya. Seperti Jakarta atau Surabaya saja. Malamnya sengaja saya tidak keluar kecuali makan malam saja, karena badan sudah capai seharian di destinasi wisata serta perjalanan. Tentu saja malam terakhir di Ho Chi Minh saya buat istirahat sekaligus nata barang-barang.

Esok harinya, tepatnya jam 07.30 tanggal 29 Juli 2025 sehabis sarapan saya sudah berangkat ke bandara. Sampai bandara begitu banyak antrian sudah menunggu di gate imigrasi untuk pemeriksaan paspor. Bahkan antriannya begitu panjang. Saya melihat para petugas imigrasi di Vietnam terkesan kaku. Apalagi ditambah dengan seragam tentara Vietnam yang khas tersebut.

Sampai di ruang tunggu, sudah begitu banyak penumpang yang kebanyakan turis asing. Saya mencoba jalan-jalan sambil melihat suasana. Kemudian saya mencoba mampir ke sebuah counter penjual oleh-oleh. Kemudian saya membeli coklat beberapa saja. Maksud saya buat bekal nanti bila transit di Kuala Lumpur. Karena pesawat yang saya tumpangi adalah Malaysia Airline jam 11.00, sampai Kuala Lumpur 13.55. Kemudian dengan maskapai yang sama ke Surabaya pesawat jam 15.45 dan sampai Surabaya jam 17.20.

Pesawat terbang ke Kuala Lumpur tepat waktu. Sampai di Kuala Lumpur, saya kemudian mencari gate penerbangan selanjutnya. Untungnya kok gate-nya dekat. Di situ sudah banyak menunggu jamaah umroh dari Indonesia untuk bersama terbang ke Surabaya. Sambil menunggu di ruang transit saya mencoba coklat yang saya beli di bandara Ho Chi Minh. Dengan harga sekitar Rp 110.000,- ukuran kecil saya mencoba coklat rasa Vietnam. Manis!!!!!. Serasa manisnya pengalaman saya mengunjungi Vietnam setelah tidak berdinas di pemerintahan lagi.

Ketika pesawat yang membawa saya ke Surabaya mulai terbang, saya sudah tidak ingat lagi. Tertidur pulas menjadi kebiasaan saya ketika pesawat lagi take off. Setelah terbang beberapa saat saya terbangun, dan kemudian saya segera membuka lap top mencoba menulis untuk teman-teman media. Dan itulah ceritanya selama sembilan hari di Vietnam.

*Suprawoto adalah mantan Kadis Kominfo Provinsi Jawa Timur 2002-2005, Kepala Badan,Irjen, Sekretaris Jenderal Departemen Komunikasi dan Informatika 2014-2017. Dan saat ini sebagai Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur.

 

Print Friendly, PDF & Email

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti

Berita Terbaru