Minggu, 19 Oktober 2025
BerandaOpiniSekilas Berdirinya PSHT Kabupaten Magetan

Sekilas Berdirinya PSHT Kabupaten Magetan

-

Sekitar tahun awal 1970-an, PSHT belum merupakan sebuah perguruan bela diri yang
besar. Bahkan khususnya di Magetan saja masih kalah pamor dengan organisasi bela diri
yang lain dan di beberapa tempat telah dibuka latihannya. Waktu itu berkembang pesat bela
diri yang dianggap lebih keren seperti yudo, karate, jujutsu dll. Dan saya juga telah pernah
ikut latihan dari salah satunya.

Apakah PSHT waktu itu belum ada warganya? Sebenarnya sudah ada. Ada yang
pengesahan tahun 1968, 1971 dst. Namun karena jumlahnya masih sangat sedikit dan tidak
memiliki power dan sebab lain maka banyak warga yang tenggelam. Kalaupun ada warga
yang kemudian mengadakan latihan kemudian tempat latihannya di pinggiran. Seperti yang
dilakukan latihan yang pertama waktu itu dibuka di Barat dan dilatih oleh Mas Temon, Mas
Suratmin dan Mas Sarminto. Namun baru dibuka sebentar siswanya banyak yang keluar,
karena berbagai sebab tentunya.

Sedang di kota Magetan sendiri, juga pernah dicoba tapi nasibnya sama, tutup.
Latihan pertama dibuka pada tahun 1972, yaitu tadi baru beberapa kali latihan juga bubar.
Kemudian tahun 1973 dibuka lagi, latihannya di SD Mangkujayan dengan masih
menggunakan penerangan lampu petromak namun baru beberapa kali latihan juga bubar.
Sedang pelatihnya Mas Panidi 1972 (Banjeng), Mas Nardji 1973 (Maospati) dan Bandi 1973
(Winong).

Mengapa seringkali latihan PSHT waktu itu tidak berjalan lama dan kemudian tutup.
Menurut pengamatan saya ada beberapa sebab diantaranya adalah, pertama latihannya sangat
lama. Tidak ada yang namanya latihan satu tahun kemudian disahkan. Dan juga belum ada
yang namanya latihan privat. Tua dan muda prosesnya juga harus melalui rute yang sama.
Kedua, latihannya dilaksanakan pada malam hari. Bahkan kalau sudah naik ke sabuk hijau
latihannya seminggu tiga kali. Dan kalau latihan berakhir sampai menjelang pagi. Tentu bagi
orang tua yang sangat mengutamakan pendidikan formal anak, model latihan yang demikian
berat dipandang akan sangat mengganggu belajar putra-putrinya. Ketiga, latihan yang cukup
keras wajar kalau waktu dibuka banyak siswanya kemudian dalam perjalanan kemudian
banyak yang keluar. Akibatnya belum sampai mengesahkan siswanya latihannya sudah tutup.
Keempat, tekanan dari lingkungan serta organisasi bela diri yang lain.

Namun usaha untuk membuka latihan oleh warga tidak pernah berhenti. Seperti yang
dilakukan tahun 1972 kemudian dibuka di Maospati. Ketika itu saya (Suprawoto) baru kelas
3 SMPN Maospati. Ketika baru dibuka pertama kali, banyak sekali siswa yang mengikuti
latihan. Ada kalau 150 siswa. Waktu latihan pertama kali para siswa hanya pakai celana
pendek dan kaos saja. Kemudian oleh pelatih diminta untuk memakai pakaian seragam yang
umumnya terbuat dari karung tepung gandum (segitiga biru) yang dicelum warna kuning.
Dan biar ongkosnya murah maka banyak yang dijahitkan di pasar. Karena Maospati
pelatihnya di masyarakat waktu itu juga dipandang sebagai orang yang baik, berperilaku baik
maka orang tua juga tidak keberatan anak-anaknya mengikuti latihan PSHT.

Latihan dilakukan malam hari di lapangan depan Sekolah Teknik jurusan Kimia dan
Keramik (sekarang menjadi SMPN 3 Maospati) dengan penerangan di temeraman lampu
listrik dengan warna kekuningan (110 Volt). Sedang lampunya hanya digantungkan di dahan
pohon “waru dhoyong” yang tumbuh di pinggir lapangan. Yang mendirikan sekaligus melatih
di Maospati seperti Mas Suparlan anggota Kopasgat Iswahyudi (dulu namanya Kopasgat
berganti menjadi Paskhas kemudian kembali menjadi Kopasgat kembali), Mas Sudiro TNI
AU Iswahyudi, Mas Abdulrachman TNI AU Iswahyudi, Mas Jumain mahasiswa Sekolah
Tinggi Olahraga Surabaya (kemudian menjadi perwira TNI AD dan sekolahnya sekarang
gabung Unesa), Mas Temon pegawai sipil Iswahyudi, Mas Djoko dll.

Latihan di Maospati bisa berjalan terus tanpa gangguan sedikitpun saya kira tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan Lanud Iswahyudi. Kita tahu, wilayah Maospati tentu tidak bisa
dilepaskan dari adanya Lanud Iswahyudi. Dengan pelatihnya banyak dari kalangan anggota
Lanud Iswahyudi tentu masyarakat awam memandang bahwa adanya latihan PSHT di
Maospati merupakan kebijakan dan minimal telah mendapat restu dari pimpinannya. Oleh
sebab itu keberadaan latihan PSHT sangat lancar tanpa gangguan dari pihak manapun.

Karena latihan di Maospati siswanya banyak dan juga teratur maka banyak warga
yang kemudian berkunjung kalau pas ada latihan. Warga yang sering berkunjung melihat
latihan seperti Mas Panidi, Mas Warno, Mas Bandi, Mas Sarminto dll. Kedatangan para
warga tersebut tentu saja untuk memberikan support kepada pelatih agar latihan terus bisa
berjalan. Dan kita sebagai siswa melihat sikap saling hormat antara sesama warga demikian
baik, dalam hati timbul rasa keinginan yang sangat besar bahwa suatu ketika akan menjadi
bagian dari warga PSHT.

Waktu latihan tingkat polos, pelaksanaan hanya seminggu sekali saja. Dan latihannya
pada hari Sabtu malam Minggu dimulai jam 19.00. Ketika tingkat polos selesai latihan paling
malam jam 11.00. Namun semakin tinggi tingkatannya semakin malam selesainya. Demikian
juga frekuensi latihannya juga semakin banyak. Tapi yang berat itu kalau hujan. Atau habis
hujan. Ya harus tetap latihan di bawah hujan gerimis atau tanah yang becek. Latihan tidak
berhenti karena hanya alasan hujan atau lapangan becek.
Waktu naik ke tingkat jambon, peserta latihan tinggal separonya saja. Dan selebihnya
tidak melanjutkan, istilahnya “mrothol” dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.
Namun sebagian besar alasannya karena latihannya memang sangat berat. Kadang kalau saya mengingat kembali akan beratnya latihan ketika itu, kok saya kuat ya. Mungkin saja karena masih muda dan fisik juga kuat.

Apalagi ketika naik ketingkat sabuk hijau, latihannya sudah seminggu tiga kali.
Sedang saya sudah malanjutkan ke SMAN Magetan (sekarang SMAN 1 Magetan). Dan harus
kost di desa Candirejo Magetan. Maka saya harus pulang pergi naik sepeda kalau latihan di
Maospati. Untung saja saya ada teman, malahan sejak TK sampai SMPN Maospati latihan
PSHT juga bersama yaitu Sarnjoto (kemudian menjadi adik ipar saya karena menikah dengan
adik saya) sehingga selalu berdua. Latihannya biasanya Sabtu malam Minggu, Selasa malam
Rabu dan Kamis malam Jum’at. Sedang selesai latihannya rata-rata jam 03.00 dini hari dan
kemudian kembali ke Magetan naik sepeda lagi. Tidur sebentar lanjut masuk sekolah.

Bayangkan kota Magetan saat itu kendaraan umum masih jarang sekali. Kendaraan
umum dari Maospati terakhir jam 17.00. Oleh sebab itu tidak ada pilihan bagi saya selain
naik sepeda. Dan memang kota Magetan waktu itu jam 17.00 toko sudah tutup semua. Kalau sore dan malam hari tidak ada yang buka. Justru sekitar pasar sudah menjadi hidup kembali sekitar jam 02.00 ketika para pedagang sayur mulai turun dari atas memikul dan
menggendhong dagangannya dijual ke pasar. Kemudian pagi-pagi dibawa ke Madiun dan
kota sekitarnya.

Ketika latihan saya menginjak tingkat putih, tinggal sekitar 20-an anak yang bertahan
ikut latihan. Ketika tingkat putih ini dua atau tiga minggu sekali dilakukan latihan bersama di
Madiun. Dan dalam latihan bersama itu selalu memperolah ke-SH-an dari Mas Imam
Kusupangat atau Pak Badini. Kalau latihan bersama di Madiun bisanya siswa dari Maospati
ramai-ramai naik sepeda bersama-sama.

Kalau saya (Agus Sudibyo) kebetulan sekolah menengah atas di Madiun. Karena
sekolah di Madiun maka saya kemudian kost di Madiun. Ketika kelas satu tahun 1971 saya
ikut Latihan PSHT di Madiun. Waktu itu latihannya di sebuah rumah Jl. Achmad Yani sedang
pelatihnya Mas Gatot Subroto. Latihannya lantainya juga masih dari tanah. Biasa rumah
jaman dulu. Namun waktu itu saya hanya ikut sebentar dan tidak melanjutkan latihan lagi.

Pada tahun 1972 saya masuk untuk ikut latihan lagi. Kali ini latihannya dari polos
sampai jambon di Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPG) Jl. Sumatra Madiun. Naik ke
sabuk hijau latihannya pindah ke SMA Bonaventura Jl. Diponegoro Madiun. Kemudian
ketika naik ke sabuk putih latihan pindah lagi ke Balai Desa Oro Oro Ombo Kota Madiun.
Begitu kondisi latihan PSHT saat itu. Di Madiun saja yang nota bene dekat dengan pengurus
pusat saja tempat latihannya harus sering pindah tempat.

Tentu saja dengan adanya latihan bersama, saya bisa bertemu dan mulai kenal dengan
teman-teman dari Maospati kalau latihan bersama di Balai Desa Oro Oro Ombo ketika itu.
Dalam latihan bersama, kita semua selain silaturahmi, juga bisa tukar menukar teknik juga
ditutup dengan sambung persaudaraan. Dan ketika tingkat putih saya sebagai siswa ada
perasaan bangga dalam hati ketika itu, bahwa kita akan bertambah saudara dalam ikatan
PSHT. Latihan yang dijalani sekian lama tidak lama lagi akan mencapai titik kulminasi
dengan menjadi sedulur “tunggal kecer.” Sampai di tingkat putih latihan tingkat pusat
Madiun diikuti sebanyak 49 siswa.

Ketika masih menjadi siswa itulah kita banyak mendapat pitutur luhur yang
disampaikan oleh Mas Imam maupun Pak Badini. Tentu saja bagi warga PSHT pasti telah
diajarkan oleh para pelatihnya. Namun kemudian dijalankan apa tidak, itulah yang menjadi
persoalan saat ini. Banyak pitutur luhur yang ditulis di dinding gedung latihan, bahkan di
tugu-tugu pinggir jalan. Tetapi tulisan itu sepertinya hanya sekedar tulisan tidak lebih sebagai
bentuk legitimasi teritori tanpa makna apa-apa. Bahkan tugu-tugu itu saat ini seperti
mengalahkan tugu Pancasila sebagai idiologi negara.

Ada salah satu pesan Mas Imam yang kemudian menjadi pegangan saya ketika masih
menjadi siswa,”Saya ingin warga PSHT sekolahnya bener dst……….” Jadi Mas Imam
sendiri waktu itu juga menekankan, pencak itu hanya sebagai sarana untuk kita berkumpul.
Wajar saja, tentu akan sangat sulit apabila mengajak seseorang berkumpul dan mengikatkan
diri menjadi saudara tanpa ada sarana atau kuda penarik yaitu pencak. Dari sarana pencak
itulah apabila semua tahap dilalui kemudian kita mengikatkan diri dalam sumpah menjadi
saudara. Oleh sebab itu pesan Mas Imam bagi yang masih sekolah dan menjadi siswa
walaupun latihannya malam jangan sampai meninggalkan sekolah. Harus tetap belajar, dan
juga berprestasi.

Pada tanggal 3 Februari 1974 di bulan Sura penanggalan Jawa dilakukan pengesahan.
Dan pengesahan dilaksanakan di Gedung IKIP Madiun (Cabang Malang yang terletak
sebelah selatan stadion) diikuti seluruh Indonesia. Dan yang disahkan ketika itu hanya
berjumlah 98 orang. Dari jumlah itu saja yang latihan dari latihan pusat 49, Maospati 20-an,
Barat 1, lainnya dari daerah lain. Sedang yang mengesahkan Bapak Darjo (Porong), Bapak
Badini, Bapak Harsono putra Bapak Harjoutomo, Mas Imam Kusupangat, dan Mas Singgih.
Dan Bapak Tomo Mangkujoyo sebagai pengawas.

Sebelum dilakukan prosesi pengesahan, dengan pakaian hitam-hitam pada malam hari
berjalan dengan berbaris tertib, dan semua yang akan disahkan diharuskan mengikuti salah
satu prosesi yaitu berziarah ke makam Eyang Sura di Winongo. Waktu rombongan yang akan
disahkan berziarah dengan berjalan dengan tertib tersebut, tidak ada gangguan sedikitpun.
Madiun adem ayem saja ketika itu. Tidak ada kesan suasan mencekam, atau menakutkan.
Bahkan begitu tenangnya suasana kota polisi yang berjaga-jaga pun sama sekali tidak ada. Di
tempat pengesahan pun, tidak ada polisi yang berjaga-jaga saat itu.

Tentu saja betapa bangganya ketika semua siswa yang kemudian disahkan sebagai
warga PSHT saat itu. Saking bangganya teman-teman dari Maospati pulangnya dengan masih
memakai pakaian hitam-hitam berjalan kaki dari Madiun pulang ke Maospati. Jalan kaki
ketika itu dilakukan semata-mata sebagai bentuk rasa syukur berhasil menjadi warga PSHT
setelah melalui proses pendadaran panjang lebih dari dua tahun lamanya. Dan ketika telah
sampai masanya (untuk disahkan ketika itu minimal berumur 17 tahun) ketika disahkan
betul-betul menjadi hari yang bersejarah bagi setiap individu yang kemudian harus memikul
beban dengan memegang ajaran luhur PSHT serta sumpah yang baru diucapkannya.

Ketika disahkan sebagai warga PSHT saya (Suprawoto) kebetulan naik ke kelas 2
SMAN Magetan. Sedang saya (Agus Sudibyo) naik kelas 3. Setelah saya disahkan sebagian
besar pengesahan 1974 kemudian berinisiatif mendirikan latihan di kota Magetan. Tentu saja
untuk mendirikan di kota Magetan kemudian kita harus mengurus ijin. Dan ijin diurus oleh
sdr Haryono (pengesahan 1974 latihan Madiun) dan dibantu teman-teman warga 1974 yang
baru semua seperti Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto, Sukamto, Bambang Sediono, dan
Mas Gatot Subroto dari Madiun pengesahan 1970.

Setelah ijin dan syarat lainnya didapat kemudian dibuka pendaftaran. Dan yang sangat
mengejutkan, yang mendaftar ternyata banyak sekali. Sedang latihannya di halaman SMEA
di sebelah selatan masjid Agung Magetan (sekarang berdiri gedung perpustakaan). Diantara
peserta latihan adalah teman-teman saya, adik kelas juga kakak kelas saya di SMAN
Magetan. Juga banyak siswa dari STM (sekarang SMK) di Magetan ketika itu.

Sedang latihan putri dilaksanakan di rumah Pak Gardjito TNI AD yang dinas di
Secata (pelatih bela diri yudo). Yang ikut latihan putri ketika itu juga cukup banyak, sekitar
20 anak. Yang ikut latihan juga putri pejabat di Magetan seperti putri Bupati Magetan
Djajadi, putri Sekda dll (sayang putri pejabat tersebut tidak ada yang sampai disahkan). Tentu
saja cukup mengherankan, latihan pertama awal taun 1974 sudah mendapat sambutan yang
baik dari masyarakat bahkan pejabat.

Mungkin karena sambutan yang demikian besar dari masyarakat, menyebabkan siswa
organisasi bela diri yang lain berkurang peminatnya. Suatu saat ketika masih latihan di
SMEA lampunya tiba-tiba mati. Setelah dicari menyebabnya, ternyata ketahuan kabelnya
diketemukan diputus. Tentu saja putusnya kabel menurut penilaian kita karena kesengajaan.
Kota Magetan itu kecil. Tentu gampang mencari kira-kira siapa yang melakukannya.
Akhirnya kita datangi orangnya yang kita duga melakukannya. Dan betul, setelah kita bicara
baik-baik yang bersangkutan mengakui dan langsung minta maaf selanjutnya latihan berjalan
tidak ada gangguan sama sekali.

Namun juga ada hikmahnya, karena adanya gangguan tersebut kemudian atas jasa
pak Gardjito kemudian latihannya dipindah ke halaman belakang Kodim Magetan. Waktu itu
Komandan Kodim Pak Panudju (kemudian menjadi Bupati Ngawi). Yang aktif melatih waktu
itu adalah saya (berdua), Mas Gatot Subroto, dan Sarnjoto. Juga Mas Sukamto. Sedang warga
lainnya hanya kadangkala saja datang karena kesibukan masing-masing. Mas Gatot karena
rumahnya Madiun kalau waktunya melatih tidurnya di temat kost saya di Candirejo. Bahkan
kita bertiga harus secara patungan mengumpulkan sebagian uang saku untuk memberi uang
transport kepada Mas Gatot, karena harus naik kendaraan umum Madiun-Magetan pp.

Karena saya bertiga (Agus Sudibyo, Suprawoto dan Sarnjoto) masih berstatus siswa
sekolah, maka kalau waktunya melatih bergantian. Kalau salah satu melatih siswa, yang
lainnya belajar di salah satu ruangan Kodim. Jangan sampai karena menjadi pelatih kemudian
mengabaikan sekolah. Seperti pesan Mas Imam, maka saya bertiga berkomitmen akan
meneruskan kuliah. Tidak boleh karena PSHT menjadi sebab justru menghambat cita-cita
saya. Justru malahan sebaliknya, harus menjadi pemacu serta pemicu untuk merealisasikan
cita-cita.

Dengan segala suka dan dukanya merintis PSHT di kota Magetan, dan khawatir kalau
sampai saya waktunya kuliah nanti belum bisa mengesahkan, kemudian kami berlima (Mas
Gatot Subroto, Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto, Sukamto) kemudian bernazar, bila
nantinya kita bisa mengesahkan siswa berapun jumlahnya, akan berjalan kaki dari Magetan-
Solo lewat Cemorosewo-Tawangmangu.

Nazar itu kita ucapkan karena semakin sedikitnya siswa yang bertahan sampai di
tingkat putih. Bayangkan waktu pembukaan pertama yang ikut lebih dari seratus siswa. Yang
bertahan sampai tingkat putih tinggal sekitar 15 siswa. Dan kemudian beberapa siswa sudah
sampai tingkat putih juga “mrothol” seperti Sutrisno (Ringinagung), Darsono (Plaosan), Muji
(Sarangan) dll. Sayang sekali sebenarnya, Latihan yang dijalani sekian lama akhirnya harus
putus ketika sudah diujung latihan. Tapi bagaimana lagi, alasan-alasan yang bersangkutan
yang kemudian kita tidak bisa menahannya.

Ikatan persaudaraan antara warga PSHT waktu itu sangat kuat. Di sela-sela melatih
dan sekolah waktu liburan, saya berdua (Agus Sudibyo dan Suprawoto) dengan
berboncengan sepeda motor mengunjungi saudara kita yang merintis latihan di Yogyakarta,
kemudian lanjut ke Cilacap. Di Cilacap yang membuka latihan waktu itu Mas Roso Wihadi
(pengesahan 1972). Demikian akrabnya persaudaraan PSHT ketika itu, walaupun semua
dalam kondisi sangat sederhana dalam segala halnya tapi ikatan persaudaraan demikian kuat.

Pada akhirnya dalam perjalanan waktu hampir dua tahun latihan di kota Magetan
maka pada tahun 1975, sebagian siswa-siswa kita dengan perjuangan masing-masing bisa
disahkan. Dan yang disahkan berjumlah 15 siswa itu terdiri dari:
Putra Putri
1. Alm. Birin. 1. Alm Harly
2. Alm Yadi (Polisi Brimob). 2. Sri Sujatmi.
3. Alm Suparno. 3. Muryudani.
4. Alm Herman. 4. Sulistyowati.
5. Alm Sugianto.
6. Alm Kus Harjanto
7. Alm Tarmudji.
8. Yadi (Cilik).
9. Sukardi.
10. Suprapto.
11. Suparno.

Dengan disahkannya siswa-siswa menjadi warga PSHT ada rasa lega, bangga dan
sekaligus haru. Salah satu alasannya adalah ketika nantinya kita tinggalkan untuk
meneruskan kuliah, latihan PSHT di kota Magetan akan terus berjalan. Bahkan nantinya saya
yakin PSHT keberadaannya di Magetan akan semakin berkembang. Dan rasa lega itu
semakin membuncah dalam hati saya karena nantinya akan ada generasi penerus mengingat
pondasi yang telah dibangun sudah jadi.

Demikian juga di tempat lainnya di wilayah Magetan selain Maospati yang telah
mengesahkan siswanya sejak 1974, di Takeran pada tahun 1975 juga mulai mengesahkan
siswanya. Sedang yang melatih di Takeran waktu itu diantaranya adalah Mas Abu Mufadlo
(mBah Ling), Mas Tohir, Mas Supri, Mas heri, Mas Kyai Zuhdi Tafsir dll. Dari sinilah
kemudian PSHT mulai mendapat tempat di hati masyarakat.

Sedang untuk memenuhi nazar kita berjalan kaki dari Magetan-Solo, kemudian kita
berempat menyusun agendanya. Di suatu malam, dari tempat saya kost di Candirejo kita
berempat memulai perjalanan dengan berjalan kaki ke Solo lewat Cemorosewu-
Tawangmangu-Solo. Sedang jalan antara Sarangan-Tawangmangu waktu itu masih makadam.

Belum ada kendaraan roda empat yang berani lewat, karena sempit.
Selain sempit jalannya juga licin. Jalan berbatu itu banyak ditumbuhi lumut. Ketika
kita berjalan harus ekstra hati-hati. Di tempat-tempat tertentu kita harus perpegangan pada
akar-akar pohon di tebing-tebing pinggir jalan agar tidak terpeleset. Kalau tidak ada akar juga
ranting-ranting pohon yang kira-kira kuat untuk berpegangan. Dengan berbekal seadanya
disertai “sentolop” warna putih terbuat dari seng itu kita berjalan pelan-pelan.

Dengan segala suka dan duka dalam perjalanan, malam hari berikutnya sampailah kita
di Solo. Karena memang tidak punya uang untuk menginap di losmen murah sekalipun, maka
kita kemudian minta ijin nginap di Polsek Jebres dekat Stasiun Jebres. Tidurnya pun
dibangku di teras Polsek. Baru esoknya kita berempat naik kereta api turun di Stasiun Barat,
kemudian dilanjutkan naik delman ke Maospati.

Alhamdulillah, pada akhirnya kita berhasil mengesahkan siswa di tahun 1975 saya
bertiga (Agus Sudibyo, Suprawoto, Sarnjoto) kemudian pergi ke Yogyakarta untuk
mempersiapkan masuk kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dan saya bertiga
akhirnya bisa masuk di UGM. Dan indekost di tempat yang sama bertiga. Walaupun kita
bertiga sudah di Yogyakarta untuk meneruskan kuliah, namun kita tetap memantau dan
membantu berjalannya latihan di Magetan. Dan latihan di Magetan siswanya juga semakin
banyak. Dan latihannya pun juga semakin tertib dan teratur. Pada akhirnya pada tahun 1976
bisa mengesahkan siswa lagi di antaranya:

1. Alm Tri Supeno.
2. Alm Atok Widayanto/Gandung.
3. Alm Paryanto
4. Alm Didik.
5. Alm Supriyadi.
6. Alm Suradi.
7. Alm Sugiono.
8. Alm Suwarto.
9. Gaguk Nugroho.
10. Fajar Sukmono.
11. Agus Margono.
12. Kemis.
13. Suyitno.
14. Mas’ud.
15. Sutrisno.
16. Joko Wasono.
17. Atun.

Perkembangan PSHT selanjutnya semakin pesat dan kondisi ini sangat melegakan
serta menggembirakan. Dan kita kuliah di Yogyakarta juga menjadi tenang. Selanjutnya
sekitar awal tahun 1980-an organisasi PSHT semakin ditata dengan lebih baik di bawah
kepemimpinan Mas Imam Kusupangat. Kemudian dibentuk kepengurusan cabang. Dan
selanjutnya seiring berjalannya waktu cabang-cabang semakin berkembang di seluruh
Indonesia. Sepengetahuan saya di bawah kepemimpinan beliau (sejak saya menjadi siswa)
keluhuran ajaran PSHT itulah yang menjadi nilai penting dan yang selalu ditekankan. Di
manapun beliau memberi wejangan, salah satu yang selalu disampaikan ciri orang PSHT
sejati itu kalau kehadirannya selalu dirindukan bukan sebaliknya. Dan salah satu sumpah kita
sebagai saudara tunggal kecer adalah…… Saya tidak tahu persis apakah warga PSHT saat ini
masih memegang dan ngugemi ajaran luhur itu. Serta sumpah itu. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Suprawoto dan Agus Sudibyo

* Suprawoto pengesahan PSHT 1974, alumni (S1) UGM 1982, S2 Unair 1998 dan S3
Unibraw 2007. Bekerja di Departemen Komunikasi dan Informastika jabatan terakhir
Sekretaris Jenderal dan Bupati Magetan 2018-2023.
* Agus Sudibyo pengesahan PSHT 1974, alumni (S1) UGM 1982 dan pekerjaan terakhir di
Universitas Trisakti Jakarta

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
spot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru