Penundaan Musyawarah Daerah (Musda) ke-XI DPD Partai Golkar Kabupaten Magetan baru-baru ini kembali menyita perhatian publik, terutama di kalangan kader dan pengamat politik lokal. Banyak yang menganggap peristiwa ini sebagai bentuk ketidaksiapan partai dalam menyelenggarakan konsolidasi internal. Namun jika kita mengkaji lebih dalam menggunakan pendekatan ilmiah, khususnya melalui teori New Institutionalism, keputusan untuk menunda Musda justru bisa dilihat sebagai bentuk rasionalitas kelembagaan yang berupaya menjaga stabilitas organisasi dalam menghadapi dinamika konflik internal.
New Institutionalism, sebagai pendekatan dalam ilmu politik dan organisasi, memandang bahwa perilaku aktor politik tidak hanya digerakkan oleh kepentingan rasional, tetapi juga oleh norma,kebiasaan, dan jalur historis yang membentuk organisasi tersebut. Ada tiga varian utama dari pendekatan ini: historical, rational choice, dan sociological institutionalism. Kasus Golkar Magetan sangat tepat dibaca dari sisi historical dan sociological institutionalism.
Logika Kelembagaan dalam Partai Politik
Dalam studi kelembagaan, New Institutionalism menawarkan perspektif bahwa tindakan aktor politik tidak hanya didorong oleh kepentingan individu atau pertimbangan rasional semata, tetapi juga dibentuk oleh struktur historis, norma sosial, dan dinamika institusi yang sudah mengakar. Seperti dikatakan oleh Hall dan Taylor (1996), “Institutions shape the behavior of actors not only through constraints and incentives but also through norms and cognitive scripts that guide action.”
Partai Golkar sebagai salah satu partai politik tertua di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan organisasi yang bersifat sentralistik dan hierarkis. Dalam konteks Musda Golkar Magetan, keputusan DPD Partai Golkar Jawa Timur yang mendorong aklamasi mencerminkan pola konsolidasi dari atas ke bawah (top-down). Ini selaras dengan kerangka Historical Institutionalism, yang menekankan pentingnya path dependency dalam menjelaskan tindakan institusi berdasarkan pengalaman masa lalu.
Sementara itu, pendekatan sociological institutionalism memberi kita pemahaman bahwa aktor-aktor dalam partai seringkali bertindak bukan hanya karena kepentingan pribadi, tetapi karena adanya norma-norma yang diinternalisasi—seperti pentingnya menjaga kekompakan, menghindari gesekan terbuka, dan memprioritaskan musyawarah. Dalam konteks itu,keputusan dua calon kuat untuk mundur demi aklamasi bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari script sosial yang mereka ikuti sebagai kader partai.
Menghindari Konflik Terbuka: Norma Tak Tertulis dalam Institusi
Dua calon kuat ketua DPD—Didik Haryono dan Sumanto—dikabarkan mengundurkan diri demi mendukung aklamasi terhadap Zakarya, yang merupakan Ketua DPD Golkar sebelumnya diusulkan kembali menjadi ketua. Namun aklamasi ini tak langsung menyelesaikan masalah. Justru, Musda ditunda oleh panitia karena situasi internal dianggap belum kondusif. Dalam perspektif Sociological Institutionalism, langkah ini dapat dimaknai sebagai bentuk internalized norm—bahwa stabilitas dan harmoni partai lebih diutamakan daripada kemenangan personal.
Seperti dijelaskan oleh March dan Olsen (1989), “Political actors act according to a logic of appropriateness, following rules and norms that are seen as natural, legitimate, or takenfor-granted within their institutional context.” Dalam hal ini, aklamasi bukan hanya mekanisme formal, tetapi menjadi “jalan tengah” yang secara sosial dianggap paling sesuai untuk meredam ketegangan.
Penundaan Bukan Kelemahan, Tapi Strategi Adaptif
Kita perlu menyoroti bahwa keputusan untuk menunda Musda bukan berarti partai kehilangan arah atau kendali. Justru, ini mencerminkan apa yang disebut oleh Mahoney dan Thelen (2010) sebagai gradual institutional change—perubahan yang terjadi secara bertahap melalui adaptasi internal. Ketika tensi politik meningkat dan potensi fragmentasi kader membesar, institusi yang matang akan memilih pause ketimbang memaksakan proses yang berisiko merusak legitimasi.
Dalam konteks ini, DPD Golkar Magetan menunjukkan sikap adaptif kelembagaan. Mereka tidak serta-merta memaksakan pemilihan saat situasi belum sepenuhnya stabil. Ini adalah bentuk resilience organisasi yang patut diapresiasi, karena menunjukkan bahwa partai tidak terjebak pada prosedur kosong, tetapi mengutamakan substansi persatuan. Tentu saja, partai politik modern harus tetap berbenah. Jika Golkar ingin tetap relevan secara elektoral dan demokratis, maka tradisi konsensus harus tetap dibarengi dengan transparansi dan pelibatan kader yang lebih luas. Institusi, seperti halnya manusia, belajar dari masa lalu. Dan Golkar Magetan, tampaknya, sedang memilih untuk menunda agar tidak terjebak pada konflik. Ini bukan soal siapa yang menang atau kalah, tapi bagaimana sebuah partai menjaga dirinya tetap utuh dalam jangka panjang.
Penutup: Belajar dari Logika Kelembagaan
Masyarakat dan kader partai sebaiknya tidak tergesa-gesa menilai penundaan Musda sebagai bentuk kegagalan. Justru sebaliknya, ini bisa menjadi contoh bagaimana partai politik bekerja berdasarkan logika kelembagaan yang kompleks—menggabungkan struktur historis, norma sosial, dan kepentingan kolektif.
Jika Partai Golkar Magetan mampu melanjutkan proses Musda dengan tetap mengedepankan prinsip inklusifitas, transparansi, dan dialog, maka penundaan ini akan tercatat bukan sebagai kemunduran, melainkan sebagai momen institusional reflektif—sebuah upaya menjaga keutuhan di tengah dinamika kontestasi politik internal.
Oleh: Tsabit Qolby ‘Ala Diinika (Ketua SAPMA PP Magetan)