Di Dukuh Kanthong Bolong, Warung Krikit milik Kang Brodin tetap jadi tempat warga mengupas isu hangat. Pagi ini, 4 Juli 2025, pukul 07:36 WIB, aroma kopi tubruk dan sate usus bakar memenuhi udara. Isu yang bikin warga geram: PDAM Kanthong Bolong yang pelayanannya amburadul—air keruh, aliran sering macet, dan laporan keuangan yang tak pernah jelas. Warga mulai bertanya: kenapa PDAM tak bisa lebih kreatif seperti tetangga desa sebelah ? Di bawah atap seng yang sedikit penyok, meja bambu warung jadi arena diskusi penuh sindiran dan tawa.
Brodin, pemilik warung, duduk di kursi anyaman sambil mengipasi Bara. Dengan kemeja
kotak-kotak lusuh dan tatapan tajam, dia membuka obrolan. “PDAM kita ini cuma bisa nyanyi
lagu lama: alirkan air, tagih duit, selesai. Tapi air keruh, aliran macet, laporan keuangan nggak
pernah dibuka. Apa hukum izinin kita tuntut PDAM lebih kreatif dan transparan….?” Nadanya
santai, tapi analisisnya mengena, seperti pisau yang diasah pelan.
Sukma, aktivis LSM Sukar Maju, langsung bersorak. Dengan kaos bertuliskan “Air untuk
Rakyat” dan gelang jali-jali, dia nyerocos, “Kang, PDAM harus kayak PDAM Air Moedal! Merekapake X buat promosi, bikin kuis berhadiah meteran air! Kami dari LSM bakal bikin spanduk,unggah di medsos, tuntut PDAM inovatif !” Brodin menggeleng. “Sukma, LSM itu bukan cuma bikin ramai. Tahu gak tugasmu? UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 bilang kita berhak tahu laporan keuangan PDAM. Minta data itu, jangan cuma bikin spanduk!” Sukma cuma nyengir, tapi jarinya sudah ngetik status di ponsel.
Polkah, si pemulung yang suka memprovokasi, mencibir sambil memunguti botol plastik di
sudut warung. “PDAM kreatif? Mustahil! Di Jepang, PDAM punya aplikasi buat lapor air mati,
transparan! Di sini? Air keruh aja dibilang ‘teh alami’! Laporan keuangan? Kayak harta karun,
tak pernah kelihatan!” Polkah, yang juga makelar kasus, menawarkan jasa. “Mau aku urus ke
kantor PDAM? Bayar sedikit, data keluar!” Warga cuma melotot. Polkah selalu punya cerita luar negeri, tapi solusinya cuma nyinyir atau cari keuntungan.
Puyeh, wartawan Pecah Kongsi Post, sibuk mencatat di buku lusuh dengan pulpen yang
tintanya nyaris habis. “Besok headline-ku: ‘PDAM Kanthong Bolong: Air Keruh, Inovasi Buruk?’”Brodin memotong, “Puyeh, beritamu bikin orang pusing. Minggu lalu kau tulis ‘Air Macet karena Bulan Purnama’. Apa-apaan? Tulis fakta, kasih data keuangan PDAM, biar warga tahu!” Puyeh cuma nyengir, tapi tetap nulis dengan gaya puitis yang bikin pembaca bingung.
Somad, modin desa yang buta huruf tapi bijak, mengangguk pelan. Dengan sorban agak
miring dan tongkat kayu di tangan, dia berbicara tenang. “Dari hadis yang kudenar, ‘Siapa yang memegang amanah, janganlah curang.’ PDAM kelola duit rakyat, harus transparan. UU
Keterbukaan Informasi Publik bilang kita berhak tahu laporan keuangan. Ayo ke kantor PDAM,
minta data, kalau tak dikasih, adukan ke Ombudsman!” Warga kagum, meski tahu Somad cuma dengar hadis dari tetangga. Solusinya selalu praktis dan mengena.
Sastro Ubed, ahli adat yang analisisnya sering ngelantur, ikut nimbrung. “Ini gara-gara kita
lupa tradisi! Dulu, kalau air bermasalah, kita adakan ritual ‘ngguyang keris’ di mata air, biar
alirannya lancar!” Warga tertawa. “Sastro, itu ritual buat nyanyi musim panen, bukan bikin
PDAM kreatif!” sahut Brodin. Sastro cuma garuk jenggot, tapi tetap ngotot kalau semua
masalah karena warga tak hormat leluhur.
Jamal, hansip desa yang sok intelek, berdiri dengan pose tegap ala detektif. “Berdasarkan UU
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 67, warga berhak mengawasi
Badan Usaha Milik Daerah seperti PDAM! Kalau laporan keuangan disembunyikan, itu
pelanggaran UU Nomor 14 Tahun 2008, Pasal 3 ayat 1! Kita tuntut PDAM transparan!” Warga
melongo. “Jamal, ini diskusi, bukan razia!” kata Polkah. Tapi Jamal tetap bergaya, seolah dia
agen rahasia desa.
Obrolan makin panas, sampai Brodin menepuk meja. “Cukup…! PDAM kelola duit rakyat, tapi
tak pernah lapor ke rakyat. UU Keterbukaan Informasi Publik bilang kita berhak tahu, dan UU
Pemerintahan Daerah izinin warga ngawasin.
Dengan tegas Brodin memberi perintah
– Sukma, pelajari tugas LSM, minta laporan keuangan PDAM, bukan cuma bikin spanduk.
– Polkah, stop nyinyir soal luar negeri, bantu warga kumpulkan keluhan air. Cari info kalo
bikin AMDK biayanya berapa, dan jangan ngutil.
– Puyeh, tulis berita yang jelas, kasih fakta soal anggaran PDAM. Cari info, kemaren dapat
penghargaan itu dari mana, untuk apa dan bayarnya berapa ???
– Somad, ajak warga ke kantor PDAM, tanya data keuangan. Serta cari alamat toko
langganan pipanya. Juga kirim buku ke PDAM yang berjudul “ air untuk wudlu hendak
Sholat jangan di buat mahal”
– Sastro, cari tradisi yang satukan warga, kayak seperti Ledhug Suro itu dibangkitkan lagi !!!.
– Jamal, awasi PDAM tanpa bikin orang takut sama pasal-pasalmu. Unggah daftar gaji dewan
direks.
Sekarang, bergerak sesuai kapasitas kalian!” AYO BERGERAK Coooooooooooiiiii… !!!
Warga terdiam, lalu mengangguk. Warung Krikit pagi itu bukan cuma tempat ngopi, tapi juga
tempat menyalakan semangat. UU Keterbukaan Informasi Publik memberi hak rakyat untuk
tahu, tapi tanpa aksi nyata, air di Kanthong Bolong bakal tetap keruh dan alirannya macet.
PDAM bukan cuma soal mengalirkan air, tapi juga mengalirkan kepercayaan rakyat. UU
Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 menjamin hak rakyat untuk tahu, tapi hak itu tak berarti tanpa keberanian bertanya dan kritik membangun. Warung Krikit mengajarkan:keluhan soal air keruh harus jadi langkah menuju PDAM yang inovatif, transparan, dan melayani, agar Kanthong Bolong tak lagi bolong karena pelayanan yang buruk.
Xi xi xi
Catatan: Semua karakter dan cerita dalam Warung KRIKIT adalah fiktif. Kesamaan dengan kenyataan adalah kebetulan semata.
*Ditulis oleh Rudi Setyawan, Aktivis Forum Rumah Kita Magetan