Era Reformasi Tahun 1998 menandai dimulainya era baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Salah satu tonggak pentingnya adalah kebijakan desentralisasi yang diharapkan dapat memperkuat otonomi daerah serta mempercepat pemerataan pembangunan. Namun setelah lebih dari dua dekade berjalan, pelaksanaan sistem ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya: apakah Indonesia benar-benar telah menjalankan sistem desentralisasi secara utuh, atau justru terjebak dalam model pemerintahan yang setengah matang, antara semangat sentralisasi yang belum sepenuhnya ditinggalkan dan desentralisasi yang belum sepenuhnya dijalankan secara konsisten?
Secara konstitusional, sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial dengan model negara kesatuan yang memberikan ruang bagi otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi payung hukum utama desentralisasi. Banyak kebijakan bersifat top-down dan tidak selalu selaras dengan kebutuhan lokal. Pemerintah daerah seringkali hanya menjadi pelaksana dari kebijakan pusat, bukan sebagai aktor yang merumuskan arah pembangunan daerah secara mandiri. Padahal, semangat desentralisasi seharusnya membuka ruang kreasi dan inovasi daerah.
Salah satu persoalan mendasar dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia adalah ketimpangan kapasitas antar daerah. Tidak semua daerah memiliki sumber daya manusia, anggaran, maupun infrastruktur yang memadai. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam kualitas pelayanan publik dan pembangunan antarwilayah. Selain itu, tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah masih sering terjadi. Dalam berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan perizinan, sering kali terjadi kebingungan akibat ketidaksinkronan regulasi. Kondisi ini tidak hanya memperlambat pengambilan keputusan, tetapi juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kecenderungan pemerintah pusat untuk kembali menarik sejumlah kewenangan daerah, terutama dalam sektor strategis seperti pertambangan, kehutanan, dan investasi. Meskipun langkah ini diambil dengan alasan efisiensi dan menjaga kepentingan nasional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut mengurangi semangat desentralisasi yang telah dibangun. Jika pola ini terus berlangsung tanpa evaluasi yang menyeluruh, maka desentralisasi hanya akan menjadi simbol formal tanpa makna substantif. Pemerintah daerah kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri, sementara pusat justru kewalahan mengelola berbagai urusan teknis yang seharusnya bisa didelegasikan.
Lalu, apa saja yang harus dibenahi? Pertama, perlu adanya penegasan ulang pembagian kewenangan yang proporsional dan jelas antara pusat dan daerah. Desentralisasi tidak berarti semua urusan diserahkan ke daerah, namun harus ada batas yang jelas mana urusan yang strategis secara nasional dan mana yang bisa diserahkan ke lokal. Kedua, penguatan kapasitas daerah harus menjadi prioritas nasional. Ini mencakup peningkatan kualitas aparatur, sistem pengawasan yang sehat, serta dukungan infrastruktur dan teknologi. Ketiga, perlu ada konsistensi dalam regulasi dan kebijakan. Jangan sampai undang-undang yang satu mendorong desentralisasi, namun regulasi turunannya malah memperkuat sentralisasi.
Desentralisasi bukan sekadar memindahkan kekuasaan dari pusat ke daerah, tapi tentang membangun kemandirian lokal demi menciptakan pemerintahan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. Jika sistem ini dibiarkan dalam kondisi setengah matang seperti sekarang, maka bukan hanya rakyat di daerah yang dirugikan, tetapi juga masa depan demokrasi Indonesia itu sendiri.
Oleh :M. Rifki Fahreza
Mahasiswa Umsida